our summer magazine 2013 by Slidely - Slideshow maker

Sunday, May 22, 2011

The "Elephant Museum"


Nama sebenarnya adalah Museum Nasional Indonesia, tapi orang banyak menyebutnya sebagai Museum Gajah karena adanya patung gajah perunggu, hadiah dari Raja Chulalongkorn - Thailand pada tahun 1871, di halaman depan Museum yang berlokasi di Jl Medan Merdeka Barat 12 Jakarta ini.


21 tahun tinggal di ibukota, baru kali ini kaki menginjak ke dalam Museum ini. Padahal setiap melintas di depannya selalu membatin "pengen masuk ke dalam".

kanan: jalan dari basement parkir ke loket tiket

Akhirnya Tanggal 21 Mei 2011 kemarin sengaja membulatkan tekad untuk masuk ke dalam Museum, bersama suami dan anak.
Setelah parkir di basement kamipun jalan kaki kembali ke atas untuk beli tiket di loket pintu masuk. Seharusnya mereka membuka loket masuk juga di pintu bagian-

Atas: Patung Gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn

bawah supaya pengunjung yang bawa mobil dimudahkan ya?
Kiri: jam buka dan harga tiket

Loket tiket terdapat di gedung yang tepat berada di belakang si Patung Gajah tersebut. Harganya Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 2.000 u/anak.

Kanan: Arca Budha dari Candi Borobudur
Kiri: Arca Adityawarman sbg Bhairawa

Kanan: in The Famous Inner Court

Dibangun pada 1862 dan dibuka untuk umum pada 1868, Museum ini ditetapkan sebagai Museum Nasional Indonesia sejak 28 Mei 1979.
Saat ini terdapat 2 gedung dalam lingkungan Museum ini yaitu Gedung Gajah (bangunan lama)
yang berada di selatan dan Gedung Arca (bangunan baru) di bagian Utara.

Kiri: di selasar Gedung Gajah
Kanan: berbagai koleksi keramik kuno

Di dalam Gedung Gajah tersimpan bermacam Arca kuno, Prasasti dan benda -
kerajinan kuno, sementara di dalam
Gedung Arca tersimpan berbagai koleksi yang menghubungkan manusia dengan ling-

kungannya, dengan Iptek, dan dengan lingkungan sosialnya, juga terdapat ruang pamer khasanah emas dan keramik.
Kanan: di depan Perahu Asmat
Kiri: miniatur rumah adat
Kanan bawah: replika fosil tulang belulang

Kiri: inner court dari arah barat

Berada di dalam Gedung Gajah suasana terasa adem walaupun tanpa pendingin udara, mungkin disebabkan oleh konstruksi jaman Belanda yang sangat mementingkan ventilasi udara, sementara Gedung Arca yang modern nyaman dengan pendingin udara.

Tidak semua benda yang dipamerkan asli. Kadang demi alasan keamanan dan keawetan benda maka yang dipamerkan adalah replikanya. Contohnya di dalam Gedung Arca terdapat replika Prasasti Ciareteun.
Kiri dan kanan: di dalam Gedung Arca

Bawah: disamping replika Prasasti Ciareteun dengan cap telapak kaki Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara

Kanan: replika Prasasti Tugu


Di lantai paling atas Gedung Arca terdapat ruang pamer Khasanah Emas yang dijaga lebih ketat dan tutup satu jam sebelum museum ini tutup. Semua koleksi emasnya tentu saja disimpan di dalam etalase kaca. Btw, tahun 1960 beberapa koleksi emas museum ini kabarnya dicuri oleh gerombolan Kusni Kasdut. :O


Kiri: ruang pamer koleksi Kebudayaan Cina di lantai bawah Gedung Arca, ingin menunjukkan bahwa Cina adalah juga merupakan salah satu kebudayaan yang turut membentuk Indonesia.

Rasanya pelajaran IPS semasa sekolah kembali hadir di otakku.
Aku senang karena hari ini sudah mengenalkan bentuk nyata sebagian dari sejarah Indonesia pada Kev :D
Bawah: di kaki Arca Adityawarman

Sunday, May 8, 2011

Bosscha- Dutch's Footprints in Bandung


Foto Atas: Kubah utama (Kupel) yang berisi Teleskop Refraktor Ganda Zeiss ini dirancang oleh K.C.P. Wolf Schoemacer, salah satu arsitek Belanda ternama di Bandung yang juga merupakan guru dari mantan Presiden Soekarno. Bangunan ini telah lebih dari 85 tahun menjadi salah satu ikon Bandung Utara



Sabtu pertama di bulan Mei 2011 ini kami bertiga bergegas menuju Bandung pagi-pagi sekali. Diniatkan banget karena agenda kali ini lumayan padat.

kiri: ruang multimedia
kanan: jalan masuk yang sempit

Karena acara pertama adalah mengunjungi Observatorium Bosscha di Lembang, maka kami mengambil rute lewat Subang melewati Ciater dan Lembang kota. Setelah melewati pasar Lembang yang padat, terus ikuti jalan searah tersebut hingga tiba di pertigaan, ambil belokan yang ke kiri menuju Bandung.

kanan: Ruang Teleskop Surya, untuk mengamati berbagai hal tentang matahari, salah satunya adalah meneliti gerhana matahari


Belokan ke Bosscha tidak jelas terlihat dari arah Lembang ini ( belokan tersebut berada di sisi kiri jalan ). Sebaliknya, jika kamu datang dari arah Bandung maka belokan ke Bosscha berada di kanan jalan dan jelas terlihat, berupa gerbang berpagar besi, di belakang pangkalan ojek.

kiri: 10 Solar Facts di Ruang Surya

kanan: Patung badan Mr Karel Albert Rudolph Bosscha di Ruang Multimedia

Setelah melewati pagar besi dan berjalan sekitar 800 meter barulah kita tiba di tempat membeli tiket yang bersebelahan dengan toko cenderamata (sempat beli miniatur Kupel disini). Tiket masuknya hanya Rp 7.500 perorang. Kunjungan perorangan/pribadi hanya dapat dilakukan pada hari Sabtu, tanpa harus melakukan perjanjian terlebih dahulu. Jam kunjungannya dari pukul 09.00-14.00.

Main attraction di Bosscha tentu saja adalah Kubah Utama/Kupel yang berisikan Teleskop Zeiss. Selain dari itu kami juga melihat ruang Teleskop Surya, Teleskop Bamberg dan juga Teleskop Unitron, serta duduk di dalam Ruang Multimedia untuk sedikit mendapatkan ilmu Astronomi :D

Atas dan Kanan: Teleskop Zeiss dalam Kubah Utama
Kanan bawah : lantai ruang pengamatan dapat dinaik-turunkan dengan sistem rantai (seperti yang digunakan pada lift)

Oh ya, sebagian besar pemandu kami adalah mahasiswa Astronomi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sejak 1959 Bosscha memang berada dibawah ITB dan digunakan sebagai Pusat Penelitian dan Pendidikan Formal Astronomi di Indonesia.

Yang tidak kalah terkenal dan bersejarah selain Kubah Utama adalah Tugu Bosscha yang terletak di depan Teleskop Bamberg.
Bertanda 1923 yang merupakan peringatan tahun dibangunnya Observatorium ini.

Kanan: turis Malaysia yang asyik berfoto di Tugu


Sejak tahun 2004 Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah dan sejak 2008 juga ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional Yang Harus Diamankan

Sayangnya, dengan pesatnya perkembangan pemukiman di Bandung Utara menyebabkan kegiatan pengamatan menjadi terganggu. Karena semakin banyak cahaya lampu yang dibiaskan oleh pemukiman menyebabkan cahaya bintang yang redup menjadi semakin kalah terang dan makin sulit untuk diamati :(

Dari Bosscha kami turun ke Bandung, setelah melewati Jl Setiabudi dan masuk ke Jl Sukajadi, tepatnya setelah melewati Mal Paris Van Java kami memasuki satu toko yang menjual perlengkapan baju untuk musim dingin.
Kiri: batagor depan Twig

Nama tokonya adalah Twig House. Pemiliknya, Tante Vera, sangat komunikatif dan membantu kami dalam memilih jaket musim dingin yang akan kami kenakan bulan Juli nanti ke Aussie :D Thanks a bunch ya Tan..
kanan: dari topi sampai kaus kaki :p

Setelah selesai acara belanja di Twig kami mampir di Mal PVJ. Baru kali ini aku singgah disini, soalnya tiap ke Bandung pengen mampir tapi lihat antrian parkirnya sudah bikin pusing duluan.

Sebelum pulang kami sempat mampir untuk makan di BMC, itu lho yang jual yoghurt dan es krim enak ituuu. Menu nasi timbel dan nasi liwet kastrolnya enak. Nasi Kastrol ini agak mirip Bibimbap dari Korea dalam cara penyajiannya, yaitu harus terus diaduk supaya tidak berkerak bagian bawahnya.

Selesai makan kami mampir lagi di toko pastries Prima Rasa yang di Pasirkaliki dan sempat juga belok di satu FO yang belum lama buka, namanya Bali Heaven. Nothing special here selain dari sedikit rasa Bali di Bandung, paling ngga ya belanja baju diiringi gending Bali :D


dfdf